Oleh Ahmad Gaus AF
TRENDBERITA.COM- Sebuah gagasan yang kuat, yang dituangkan dalam kata-kata yang kuat, akan menjadi quote yang abadi karena akan terus diingat orang. Berjilid-jilid buku bisa ditulis oleh para ilmuwan.
Beratus-ratus karya bisa lahir dari tangan para intelektual yang produktif. Tapi, kalau mereka tidak mampu menuangkan gagasannya dalam satu kalimat yang kuat, mudah diingat, dan quotable, maka gagasan-gagasan mereka hanya akan menumpuk di lemari perpustakaan. Atau menguap begitu saja di antara gagasan-gagasan lain.
Di pasar ide yang sangat berisik, tidak setiap gagasan dapat didengar orang. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini. Semua orang berbicara dan ingin didengar. Akibatnya, kita tidak mendengar apa-apa, karena memang tidak ada yang layak didengar.
Maka, kalau seseorang ingin gagasannya didengar di tengah gemuruh pasar, ia harus membuat dentuman. Semua orang akan tertegun. Mendengarkan. Dan terkesima. Lantaran apa yang dikatakannya benar-benar segar. Baru. Mendobrak kebekuan.
Semua orang akan menjadikannya sebagai kutipan favorit yang akan disebarkan pada orang lain, karena dia yakin bahwa gagasan itu sangat kuat dan perlu diketahui oleh orang lain sebagai inspirasi.
Saya termasuk orang yang senang mengumpulkan kutipan- kutipan yang kuat dan inspiratif, yang mampu mengubah sudut pandang terhadap suatu persoalan yang rumit.
Dalam beberapa tulisan Denny JA, saya menemukan kata-kata ini: “Agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia.” Saya merasa mendapat pencerahan.
Kata-kata itu sangat kuat. Kata-kata itu mengubah perspektif tentang hubungan antaragama yang selama ini cenderung dilihat dalam bingkai teologi atau keimanan.
Bagi saya, kata-kata itu mampu menerobos tembok pembatas antaragama yang sudah terbangun berabad-abad.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan antaragama di mana pun cenderung bersifat seremonial, kaku, bahkan konfliktual -- laten maupun manifes.
Apalagi preferensi utamanya ialah truth claim, dimana masing-masing pihak merasa paling benar dan paling selamat -- yang lain sesat semua dan harus diselamatkan.
Sejarah agama, sejarah kita, didikte oleh sejenis teologi eksklusif yang menyingkirkan orang lain. Memandang yang lain sebagai musuh abadi yang harus dimusnahkan. Para peneliti studi agama menyebut ini sebagai teologi kebencian.
Representasinya adalah para teroris atas nama Tuhan.
Tapi teologi kebencian dipeluk bukan hanya oleh teroris melainkan juga oleh mereka yang mendukung dan mengamini secara diam-diam tindakan para teroris itu.
Artinya, teologi kebencian tertanam sangat dalam di lubuk hati para pemeluk agama ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain.
Artikel Terkait
Menakar Pemimpin Di Era Ekonomi Gelap
Strategis Penanganan Konflik Sosial di Kalangan Pelajar di Indonesia
MENGGALI HIKMAH LISTRIK PADAM
PLN, Jangan “Bebulak!”
BERAGAMA TANPA ULAMA, PENDETA DAN BIKSU - Mungkinkah?
Berikut Sembilan Pemikiran Denny Ja Soal Agama Di Era Google
PLN, Mencadin dan Mawang
PLN “Kerungkeng”
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: PNBP dan Harga Patokan Ikan (HPI)
Robohnya Tower PLN Pengaruh Cuaca?